WELCONE TO MY BLOG

WELCOME TO MY BLOG

Selasa, 27 Desember 2011


Aliran Biaya Produksi

Aliran biaya produksi pada perusahaan produksi dimulai dari pencatatan harga pokok bahan yang dibeli , pencatatan bahan yang dimasukan kedalam proses produksi, pencatatan biaya tenaga kerja langsung dan pencatatan biaya lain-lain (Biaya overhead pabrik) yang terjadi selama proses produksi dan berakhir pada pencatan harga pokok produk jadi, kemudian dilakukan penyerahan ke bagian gudang produk jadi oleh bagian produksi. Dari uraian diatas apabila digambarkan secara diagram akan tampak aliran biaya produksi seperti berikut :

Catatan : Tahap-tahap proses produksi :
  1. Pembelian dan penyimpanan bahan baku
  2. Pengolahan bahan baku agar menjadi produk jadi
  3. Persediaan produk jadi sebelum terjual
Dari aliran biaya tersebut diatas maka untuk menampung seluruh biaya yang dikeluarkan secara garis besar maka dibentuk rekening-rekening sebagai berikut :
  1. Barang Dalam ProsesPerkiraan ini jika dicatat di posisi debet yang berfungsi untuk mencata pemakaian bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik sedangkan disebelah kiri untuk mencatat harga pokok.
  2. Persediaan bahan baku Perkiraan ini jika dicatat di posisi di debet untuk mencatat harga pokok bahan yang dibeli, sedangkan apabila dicatat disebelah kredit berfungsi untuk mencatat harga pokok bahan baku yang dipakai proses produksi (dikeluarkan untuk di produksi).
  3. Gaji dan UpahPerkiraan ini berada di sebelah debet untuk mencatat gaji dan upah yang akan dibayarkan kepada karyawan, sedangkan apabila posisinya berada di sebelah kredit digunakan untuk mencatat gaji dan upah yang dibebankan terhadap produk.
  4. Biaya Overhead PabrikBiaya overhead pabrik jika dicatat disebelah debet untuk mencatat perkiraan BOP yang sesungguhnya terjadi di pabrik, sedangkan jika dicatat disebelah kredit digunakan untuk mencatat BOP yang dibebankan terhadap produk (biasanya pembebanan dilakukan berdasarkan tarif yang sudah ditentukan dimuka).
  5. Persediaan Produk jadiRekening persediaan produk jadi jika disimpan disebelah debet digunakan untuk mencatat harga pokok produk jadi yang di transfer ke gudang produk jadi dari gudang produksi, sedangkan jika dicatat disebelah kredit untuk mencatat harga pokok produk jadi yang terjual.
Dari kelima rekening tersebut apabila kita gambarkan dengan buku besar T maka akan terdapat hubungan yang tampak seperti gambar dibawah ini :

Unsur-unsur Biaya dalam Perusahaan Industri

Sesuai kegiatan utamanya bahwa perusahaan industri merubah bahan baku (raw material) menjadi produk jadi (finished goods) dengan menggunakan tenaga kerja baik langsung maupun tak langsung serta melibatkan biaya produksi lainnya, maka pada perusahaan industri terdapat unsur-unsur utama yang menjadi biaya, diantaranya :
  1. Biaya Bahan Baku
    Bahan baku merupakan bahan yang utama digunakan dalam proses produksi dan menjadi bagian pokok dalam produk selesai yang dihasilkan. Bahan baku bersifat relatif, bagi suatu perusahaan bahan X merupakan bahan baku tapi bagi perusaan lain bahan X bisa jadi merupakan bahan pembantu. Misal Kain bahan baku bagi produk tekstil.
  2. Biaya Tenaga Kerja Langsung
    Merupakan biaya yang dibayarkan kepada tenaga kerja yang secara langsung menangani proses produksi. Biaya tersebut secara langsung membebani harga pokok produksi, contoh upah yang dibayarkan kepada para penjahit pada perusahaan konveksi.
  3. Biaya Produksi Tak Langsung
    Biasa disebut juga sebagai biaya overhead pabrik, merupakan biaya yang terjadi selama proses produksi selain biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung, biaya tersebut secara tidak langsung membebani produk yang dihasilkan. Contohnya :
    • Biaya bahan penolong
    • Biaya perlengkapan pabrik
    • Baiaya gaji mandor
    • Biaya servis mesin pabrik
    • Biaya asuransi pabrik, dll
  4. Biaya Komersial
    Selain biaya produksi yang berhubungan dengan proses produksi terdapat pula biaya komersil yang dikeluarkan dalam rangka penjualan produk jadi. Biaya komersil terdiri dari dua macam yaitu :
    • Biaya Penjualan
      Merupakan upah yangdikeluarkan kepada karyawan bagian pemasaran atau biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan kegiatan pemasaran dan penjualan produk, misal gaji bagian penjualan, biaya iklan, dll
    • Biaya Administrasi dan Umum
      Merupakan upah yang diberikan kepada karyawan bagian administrasi dan umum serta biaya lain yang dikeluarkan dalam kelancaran administrasi perusahaan secara umum diluar biaya produksi dan pemasaran, misal gaji bagian administrasi, biaya listrik dan telepon kantor, biaya sewa gudang perusahaan dan lain-lain.

Cara mendapatkan NPWP

Berikut ini adalah langkah-langkah untuk mendapatkan NPWP:
  1. Mendaftarkan diri. Cara ini dapat dilakukan dengan mendatangi kantor pajak atau mendatangi mobil-mobil pajak yang ada di area tertentu. Karena program pemerintah sedang memudahkan para pembuat NPWP maka mobil pajak ini dapat dengan mudah dijumpai di pusat keramaian, misalnya saja di mall atau plaza.
  1. Mengisi dan menandatangani formulir lalu menyerahkannya kepada petugas. Setelah itu NPWP akan jadi sekitar 1 jam kemudian.
  1. Menyerahkan fotocopy KTP/KK bagi penduduk Indonesia asli
  1. Menyerahkan paspor atau surat keterangan temapt tinggal dari instansi yang berwenang jika warga Negara asing.
  1. Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari instansi yang berwenang sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa.
  1. Untuk wajib pajak badan usaha, harus menyerahkan fotocopy Akte pendirian badan usaha, fotocopy KTP, surat keterangan kegiatan usaha dan surat persetujuan penanaman modal
Berikut ini adalah contoh gambar NPWP.




(mini/Carapedia)


Pencarian Terbaru (100)
Contoh npwp perusahaan. Contoh nomor pokok wajib pajak. Cara membuat npwp. Contoh surat izin npwp. Contoh surat izin usaha npwp. Contoh npwp nomor pokok wajib pajak. Surat permohonan npwp.
Surat izin npwp. Cara bikin npwp. Contoh dokumen npwp. Cara memperoleh npwp. Contoh formulir npwp. Prosedur npwp. Contoh surat mpwp.
Cara pembuatan npwp. Cara mendapatkan npwp. Membuat npwp perusahaan. Contoh npwp pajak. Pembuatan npwp. Membuat npwp. Mekanisme pembuatan npwp.
Contoh form npwp. Cara buat npwp. Buat npwp. Syarat pembuatan npwp perusahaan. Syarat membuat npwp. Cara membuat npwp perusahaan. Prosedur pembuatan npwp.
Syarat pembuatan npwp. Npwp perseroan terbatas. Permohonan npwp. Pengertian nomor pokok wajib pajak. Contoh permohonan npwp. Contoh surat npwp pajak. Formulir npwp badan.
Contoh npwp pribadi. Persyaratan membuat npwp. Contoh surat permohonan buat npwp. Npwp (nomor pokok wajib pajak). Syarat npwp perusahaan. Contoh format npwp. Gambar npwp.
Contoh surat kuasa pembuatan npwp. Contoh surat pajak npwp. Prosedur mendapatkan npwp. Syarat buat npwp. Prosedur memperoleh npwp. Contoh surat situ npwp. Cara npwp.
Surat ijin npwp. Cara membuat surat npwp. Perizinan npwp. Bagaimana cara membuat npwp. Pengertian npwp perusahaan. Syarat npwp badan. Download contoh pengisian formulir npwp.
Perizinan usaha npwp. Prosedur pembuatan npwp pt. Contoh formulir untuk membuat npwp. Prosedur pembuatan perizinan usaha npwp. Pendirian usaha npwp. Npwp badan usaha. Syarat pembuatan npwp badan.
Contoh pembuatan npwp. Artikel contoh surat npwp. Contoh bentuk surat npwp. Cara cara membuat npwp. Syrat pembuatan npwp. Cara membuat npwp di kantor pajak. Nomor pokok wajib pajak npwp.
Contoh surat permohonan membuat npwp. Surat permohonan tempat izin usaha. Contoh surat perizinan npwp. Contoh surat izin nomor pokok wajib pajak. Contoh surat nomor pokok wajib pajak )npwp). Syarat pengajuan npwp pt. Contoh form cara pembuatan npwp.
Contoh surat perizinan usaha npwp. Contoh surat pernyataan membuat npwp. Contoh urat npwp. Syarat2 pendirian agen jne. Contoh pembuatan surat izin usaha npwp. Syarat buat npwp perusahaan. Persyaratan npwp perusahaan.
Pengertian persyaratan pengurusan npwp. Tutorial npwp perorangan. Surat izin tempat usaha npwp. Npwp badan. Syarat mendapatkan npwp. Cara cara mendapatkan npwp. Contoh surat siup#sclient=psy.
Prosedur membuat npwp. Contoh permohonan cetak npwp perusahaan. Syarat npwp pribadi. Contoh surat permohonan pembuatan npwp terbaru. Contoh surat permohonan pembuatan npwp pribadi. Download formulir npwp. Contoh surat permohonan mengajukan pembuatan npwp.

Fungsi NPWP

  • Sarana dalam administrasi perpajakan.
  • Tanda pengenal diri atau Identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  • Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.
  • Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.

[sunting] Pendaftaran Untuk Mendapatkan NPWP

  • Berdasarkan sistem self assessment setiap WP wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP, untuk diberikan NPWP.
  • Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
  • Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
  • Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, bila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun, wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
  • WP Orang Pribadi lainnya yang memerlukan NPWP dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh NPWP.

[sunting] Tata cara Pendaftaran NPWP

Untuk mendapatkan NPWP Wajib Pajak (WP) mengisi formulir pendaftaran dan menyampaikan secara langsung atau melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) setempat dengan melampirkan:
  1. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia atau foto kopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing.
  2. Untuk WP Orang Pribadi Usahawan :
    1. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing;
    2. Surat Keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa.
  3. Untuk WP Badan :
    1. Fotokopi akte pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan penunjukkan dari kantor pusat bagi BUT;
    2. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing, dari salah seorang pengurus aktif;
    3. Surat Keterangan tempat kegiatan usaha dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa.
  4. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/ Pemotong:
    1. Fotokopi KTP bendaharawan;
    2. Fotokopi surat penunjukkan sebagai bendaharawan.
  5. Untuk Joint Operation sebagai wajib pajak Pemotong/pemungut:
    1. Fotokopi perjanjian kerja sama sebagai joint operation;
    2. Fotokopi NPWP masing-masing anggota joint operation;
    3. Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing, dari salah seorang pengurus joint operation.
  6. Wajib Pajak dengan status cabang, orang pribadi pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta harus melampirkan foto kopi surat keterangan terdaftar.
  7. Apabila permohonan ditandatangani orang lain harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus.

[sunting] Wajib Pajak Pindah

Dalam hal WP pindah domisili atau pindah tempat kegiatan usaha, WP melaporkan diri ke KPP lama maupun KPP baru dengan ketentuan:
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan Pindah tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas adalah surat keterangan tempat tinggal baru atau tempat kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas yang baru dari instansi yang berwenang (Lurah atau Kepala Desa)
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi Non Usaha, Surat keterangan tempat tinggal baru dari Lurah atau Kepala Desa, atau surat keterangan dari pimpinan instansi perusahaannya.
  2. Wajib Pajak Badan, Pindah tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha adalah surat keterangan tempat kedudukan atau tempat kegiatan yang baru dari Lurah atau Kepala Desa.

[sunting] Penghapusan NPWP dan Persyaratannya

  1. WP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, disyaratkan adanya fotokopi akte kematian atau laporan kematian dari instansi yang berwenang;
  2. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, disyaratkan adanya surat nikah/akte perkawinan dari catatan sipil;
  3. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak. Apabila sudah selesai dibagi, disyaratkan adanya keterangan tentang selesainya warisan tersebut dibagi oleh para ahli waris;
  4. WP Badan yang telah dibubarkan secara resmi, disyaratkan adanya akte pembubaran yang dikukuhkan dengan surat keterangan dari instansi yang berwenang;
  5. Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai BUT, disyaratkan adanya permohonan WP yang dilampiri dokumen yang mendukung bahwa BUT tersebut tidak memenuhi syarat lagi untuk dapat digolongkan sebagai WP;
  6. WP Orang Pribadi lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai WP.

[sunting] Penerbitan NPWP Secara Jabatan

KPP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan, apabila WP tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP. Bila berdasarkan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak ternyata WP memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP maka terhadap wajib pajak yang bersangkutan dapat diterbitkan NPWP secara sepihak oleh Direktorat Jenderal Pajak.

[sunting] Sanksi yang berhubungan dengan NPWP

Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, sehingga dapat merugikan pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.

Hak-hak wajib pajak

Kerahasiaan Wajib Pajak
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Disamping itu pihak lain yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, sepert ahli bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan.Â
Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain :
- Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
- Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
- Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
Namun demikian dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka kerjasama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertuils dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Penundaan Pembayaran Pajak

Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan menunda pembayaran pajak.
Pengangsuran Pembayaran
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan mengangsur pembayaran pajak.
Penundaan Pelaporan SPT Tahunan
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan baik PPh Badan maupun PPh Pasal 21.
Pengurangan PPh Pasal 25
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25.
Pengurangan PBB
Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya serta dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam dan juga bagi Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan, dapat mengajukan permohonan pengurangan atas pajak terutang.
Pembebasan Pajak
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan atas pemotongan/ pemungutan pajak penghasilan.
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (Restitusi)
Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara :
Yang Pertama, dengan melalui Surat Pemberitahuan (SPT),
Yang Kedua, dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala KPP.
Apabila DJP terlambat mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
Di bidang PPN, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut. BKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain Kereta Api, Pesawat Udara, Kapal Laut, Buku-buku, perlengkapan TNI/POLRI. Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.
Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 bulan untuk PPN dan 3 bulan untuk PPh sejak tanggal permohonan.  Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan.
Pajak Ditanggung Pemerintah
Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah.
Insentif Perpajakan
Di bidang PPN, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN Tidak Dipungut. BKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain Kereta Api, Pesawat Udara, Kapal Laut, Buku-buku, perlengkapan TNI/POLRI. Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.
Keberatan
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan, dan atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima.
Syarat pengajuan keberatan adalah :
a.Mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat atas SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN, dan Pemotongan dan Pemungutan oleh pihak ketiga.
b.Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan menyebutkan alasan-alasan yang jelas.
c.Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak surat ketetapan pajak, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena di luar kekuasaannya.
d.Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
Banding
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keputusan Keberatan atas keberatan yang diajukannya, maka Wajib Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan tersebut. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding. Perlu diketahui bahwa Wajib Pajak yang mengajukan banding harus membayar minimal 50% dari utang pajak yang diajukan banding. Pengadilan Pajak harus menetapkan putusan paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima.
Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Peninjauan Kembali (PK)
Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding, maka Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.
Pengajuan permohonan PK dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim Pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis baru atau sejak putusan banding dikirim.
Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan PK diterima.


Kewajiban Perpajakan bagi Wajib Pajak Badan

Setiap perusahaan yang didirikan di Indonesia dan sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maka otomatis perusahaan itu mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan pajak yang berlaku di Indonesia. Satu asas penting yang dianut UU pajak kita adalah self assestment, di mana setiap Wajib Pajak diberi kepercayaan sepenuhnya untuk menghitung sendiri pajak-pajak yang terutang dalam suatu masa pajak atau dalam suatu tahun pajak, kemudian menyetor dan melaporkannya kepada instansi pajak yang berwenang. Apabila Wajib Pajak melalaikan kewajiban yang dibebankan di pundaknya, sudah pasti akan timbul sanksi-sanksi yang dikenakan secara berjenjang, tergantung pada tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Secara umum ada tiga kelompok kewajiban pajak yang wajib dilaksanakan oleh setiap Wajib Pajak, yaitu:
  1. Kewajiban pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29);
  2. Kewajiban memotong atau memungut (pot/put) pajak atas penghasilan orang lain (misalnya: PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPh Final); dan
  3. Kewajiban memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang khusus berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Kewajiban Wajib Pajak Badan umumnya meliputi seluruh jenis pajak, baik atas pajak sendiri, pemotongan/pemungutan pajak atas penghasilan pihak lain, maupun pemungutan PPN dan atau PPnBM (jika ada), tergantung dari bentuk badan, jenis usaha yang dilakukan, serta status Wajib Pajak yang bersangkutan.
Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak Badan secara umum bisa diuraikan sebagai berikut:
1. PPh Pasal 21/Pasal 26
Yaitu PPh yang wajib dipotong atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh orang pribadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Wajib Pajak Badan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut maupun penghasilan orang pribadi lainnya, seperti tenaga ahli, yang dibayar atau terutang oleh perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran penghasilan, yang termasuk objek PPh Pasal 21, kepada orang pribadi yang berstatus WP luar negeri, PPh yang dipotong mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU PPh atau berdasarkan tax treaty.
Kewajiban PPh Pasal 21/Pasal 26 yang harus dilaksanakan, meliputi:
  • SPT Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26 pada setiap Masa Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan disetor oleh Wajib Pajak Badan, yang terutang pada setiap masa pajak. PPh Pasal 26 yang terutang atas pembayaran kepada orang pribadi yang berstatus Wajib Pajak Luar Negeri juga wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal 21. Pada dasarnya, PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT Masa merupakan angsuran atau pajak dibayar di muka untuk PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.
  • SPT Masa PPh Pasal 21 pada Akhir Tahun Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan dilunasi pada suatu tahun pajak, termasuk PPh Pasal 26 yang terutang atas penghasilan orang pribadi berstatus WP luar negeri. SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Akhir Tahun Pajak sebenarnya merupakan penghitungan ulang atas PPh Pasal 21 yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21  untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Desember. Bisa jadi, pada SPT Masa PPh Pasal 21 pada akhir tahun nantinya timbul kurang bayar, atau lebih bayar, atau mungkin juga nihil (PPh Pasal 21 yang sudah disetor sama dengan PPh Pasal 21 yang terutang).
2.    PPh Pasal 23
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen, royalty, bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh Pasal 21, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta imbalan jasa sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajeman, jasa konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 23 UU PPh.
3.     PPh Pasal 26
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen; bunga; royalti; sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan; serta pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima/diperoleh WP luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
Penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 26 sebaiknya tetap dilakukan secara tersendiri, meskipun untuk pelaporannya digabungkan dengan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23, tergantung pada jenis objek pajaknya serta penerima penghasilannya;
  • Jika objek pajaknya cenderung sama dengan PPh Pasal 21 dan penerima penghasilannya adalah orang pribadi berstatus WP luar negeri, maka pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26;
  • Jika penerima penghasilannya berbentuk badan dan berstatus WP luar negeri, pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26.
3.      PPh Final
Yaitu PPh yang dipotong atas jenis penghasilan tertentu atau jenis usaha tertentu yang diatur secara khusus (special treatment) melalui peraturan pemerintah. Misalnya, PPh Final atas persewaan tanah dan atau bangunan. Jadi, seandainya Wajib Pajak Badan menyewa gedung dari pihak lain untuk dipergunakan sebagai kantor, maka Wajib Pajak Badan wajib memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Final yang terutang atas sewa kantor tersebut.
4.      PPh Pasal 25
Yaitu pembayaran angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan. Besarnya PPh Pasal 25 yang wajib disetor setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh beserta ketentuan pelaksanaannya.
5.      PPh Pasal 29
Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan kredit pajak berupa angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain.
6.      PPN
Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) di dalam Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam hal BKP tergolong barang mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang juga terutang sesuai ketentuan UU yang berlaku.
Pembukuan
Sebagai titik awal pembuktian kebenaran penghitungan pajak, pembukuan mempunyai peranan yang sangat penting. Tanpa pembukuan, tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti berapa besarnya pajak yang sebenarnya terutang di perusahaan tersebut.
Sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU KUP diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Sesuai dengan definisi yang diberikan oleh UU KUP, pembukuan dilakukan sekurang-kurangnya untuk memperoleh informasi mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Dengan diterapkannya sistem self assessment, Wajib Pajak dituntut kesiapannya baik dari segi pengetahuan pajak maupun teknis administrasi. Sehingga apabila Wajib Pajak tidak atau lalai dalam menjalankan kewajiban perpajakan yang menjadi tanggung jawabnya, maka Wajib Pajak bisa terkena sanksi perpajakan. Oleh karena itu Wajib Pajak perlu memperhatikan dan berhati-hati dengan kewajiban pajaknya. Wajib Pajak seharusnya dapat menyusun suatu manajemen pajak yang baik, artinya mengusahakan agar pajak yang dibayar menjadi kecil atau menghindari pengenaan pajak yang tidak seharusnya atau menghindari pengenaan sanksi perpajakan. Manajemen pajak harus dilakukan secara legal atau tidak melanggar aturan pajak.
Sanksi Perpajakan yang terkait dengan Pelaporan dan Penyetoran Pajak:
1. Denda Administrasi (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007), dalam hal :
SPT tidak disampaikan atau disampaikan melebihi batas waktu:
  • Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
  • Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya
  • Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
2. Bunga (Pasal 9 (2a) dan (2b) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007), dalam hal :
Atas pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Masa/Tahunan Pajak Penghasilan yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Masa/Tahunan dikenakan Sanksi Administrasi berupa Bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa/Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
3. Kenaikan (Pasal 13 ayat 3 dan Pasal 13A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007), yaitu dalam hal:
- SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam surat teguran sanksinya berupa kenaikan sebesar 50% (untuk PPh Badan/Orang Pribadi), 100% (untuk PPh Pemotongan/Pemungutan), 100% (untuk PPN) dari jumlah pajak yang kurang/tidak dibayar.
- Karena kealpaan, SPT tidak disampaikan atau disampaikan tapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang pertama kali, wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui SKPKB.
4. Sanksi Pidana:
a. Karena kealpaan, SPT tidak disampaikan atau disampaikan tapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun. (Pasal 38 Undang-Undang 28 Tahun 2007)
b. Karena sengaja, SPT tidak disampaikan atau disampaikan tapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. (Pasal 39 Undang-Undang 28 Tahun 2007)
I. Pendahuluan

Seiring dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan tax ratio,
sejak tahun 2001 pemerintah telah melakukan berbagai kegiatan untuk
ekstensifikasi dibidang perpajakan. Selain melalui kegiatan
canvassing, upaya eksensifikasi juga dilakukan DJP dengan
cara "memaksa" Wajib Pajak Orang Pribadi untuk memiliki NPWP secara
system, misalnya kewajiban memiliki NPWP sebagai salah satu syarat
dalam permohonan kredit perbankan bagi wajib pajak orang pribadi.

Dalam siaran pers DJP tanggal 25 Agustus 2005 ditegaskan bahwa
berdasarkan informasi dari Pusat Data Pajak dan sistem komputerisasi
pajak, DJP akan memberikan NPWP (secara jabatan) terhadap:
a. Pemilik tanah dan bangunan mewah;
b. Pemilik mobil mewah;
c. Pemilik kapal pesiar atau yacht;
d. Pemegang saham, baik di dalam negeri maupun di luar negeri;
e. Orang asing;
f. Pegawai tetap yang berpenghasilan di atas PTKP; dan lain-
lain, yang belum ber-NPWP.

Pemberian NPWP secara jabatan tersebut akan dilakukan sejak tanggal 1
September 2005. Dengan demikian diharapkan jumlah Wajib Pajak akan
mencapai 10 juta Wajib Pajak pada tanggal 20 Oktober 2005.

Apabila pemberian NPWP tersebut dilakukan secara serentak, maka dalam
waktu singkat akan terdapat banyak Wajib Pajak baru yang belum atau
bahkan tidak mengetahui tentang hak dan kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukannya selaku wajib pajak (setelah memperoleh NPWP).
Pemungutan pajak di Indonesia menggunakan system self assessment,
oleh karena itu wajib pajak harus memahami hak dan kewajiban
perpajakannya agar dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan
baik. Hal ini agar wajib pajak terhindar dari masalah-masalah yang
mungkin timbul dikemudian hari yang mungkin merugikan.

II. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak secara umum

Berdasarkan undang-undang no 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan
tatacara perpajakan, sebagaimana terakhir telah diubah dengan undang-
undang no 16 tahun 2000, terdapat hak dan kewajban wajib pajak
sebagai berikut :

a. Kewajiban Wajib Pajak.

1) Mendaftarkan diri ke KPP untuk memperoleh NPWP.

Dalam rangka program extensifikasi, meskipun Wajib Pajak tidak
(belum) mendaftarkan diri, bagi wajib pajak yang telah memenuhi
syarat untuk memiliki NPWP maka akan diberikan NPWP secara jabatan.
Apabila kepada wajib pajak telah diberikan NPWP secara jabatan, maka
telah menggugurkan kewajiban wajib pajak untuk mendaftarkan diri.

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas Wajib Pajak, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak
hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain daripada itu,
Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban
dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak
diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya.

2) Wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak.

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang memenuhi syarat untuk
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN, wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk
mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya, juga
berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) serta untuk pengawasan
administrasi perpajakan.

3) Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir Surat
Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di lingkungan DJP dan
tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang
diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak.

4) Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya.

Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata
uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor
pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan. Bagi
Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata
uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam
bahasa Indonesia dan mata uang selain Rupiah yang diizinkan.

5) Wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang ke kas
negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Persepsi.

Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak
menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak

6) Wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.

Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan. Dikecualikan dari kewajiban pembukuan,
tetapi diwajibkan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Pembukuan dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan kegiatan usaha
harus disimpan oleh wajib pajak selama 10 (sepuluh) tahun. Karena
selama jangka waktu tersebut DJP masih dapat melakukan pemeriksaan.

7) Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak wajib :
• Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas
Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
• Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
• Memberikan keterangan yang diperlukan.


b. Hak Wajib Pajak

1) Wajib Pajak berhak untuk menerima tanda bukti pelaporan SPT.
Untuk Surat Pemberitahuan yang disampaikan dengan pos tercatat
melalui kantor pos dan giro, maka tanggal pegiriman dianggap sebagai
tanggal penerimaan.

2) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penundaan
penyampaian SPT. Apabila Wajib Pajak ternyata tidak dapat
menyampaikan atau menyiapkan laporan keuangan tahunan atau neraca
perusahaan beserta laporan laba rugi dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis
penyusunan laporan keuangan, sulit untuk memenuhi batas waktu
penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah
ditentukan, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan agar memperoleh
perpanjangan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan. Perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan hanya dapat diberikan paling
lama 6 (enam) bulan.

3) Wajib Pajak berhak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan yang
telah disampaikan ke KPP. Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat
Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak
untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri dalam jangka waktu 2
(dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan.

4) Wajib Pajak dapat untuk mengajukan permohonan penundaan dan
permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak sesuai dengan
kemampuannya. Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak
dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan
yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan, meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran telah
ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk
paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang
benar-benar sedang mengalami kesulitan likuiditas.

5) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penurunan
angsuran PPh Pasal 25.

6) Wajib pajak berhak untuk mengajukan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak.

7) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan pembetulan
salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam
Surat Ketetapan Pajak.

8) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan keberatan atas Surat
Ketetapan Pajak dan memperoleh kepastian terbitnya keputusan atas
surat keberatannya. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya
kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang
dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib
Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu 3
bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak yang diajukan keberatan

9) Wajib Pajak berhak mengajukan banding ke pengadilan pajak
atas keputusan keberatan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.

10) Wajib Pajak berhak untuk mengajukan permohonan penghapusan
atau pengurangan pengenaan sanksi perpajakan serta pembetulan
ketetapan pajak yang salah atau keliru.

11) Wajib Pajak berhak memberikan kuasa khusus kepada orang lain
yang dipercayainya untuk mewakilinya dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.


III. Kewajiban untuk menyetor dan melaporkan pajak yang terutang.

Kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak setelah terdaftar di
Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah melakukan pembayaran
dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya. Selain itu, wajib pajak juga memiliki kewajiban
untuk memungut/memotong dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang
dibayarkan/ terutang kepada pihak lainnya. Selain Pajak Penghasilan,
bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
juga memiliki kewajiban dibidang PPN dan PPn BM.

Kewajiban pajak yang harus dilakukan bagi masing-masing "jenis" wajib
pajak berbeda-beda. Dalam tulisan ini akan diuraikan tentang
kewajiban pajak bagi wajib pajak orang pribadi, baik yang berstatus
sebagai karyawan maupun orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
serta kewajiban pajak bagi wajib pajak badan.

A. Kewajiban Pajak Bagi Wajib pajak orang pribadi Karyawan yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan).


1. WPOP Karyawan yang hanya memperoleh penghasilan dari satu
pemberi kerja.


Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas (berstatus sebagai karyawan) dan hanya bekerja pada
satu pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak
sendiri setiap bulan atas penghasilan yang diterima/ diperoleh
sehubungan dengan pekerjaan. WP Orang Pribadi ini juga tidak memiliki
kewajiban untuk membuat laporan (Surat Pemberitahuan Masa) ke Kantor
Pelayanan Pajak setiap bulan.

Perusahaan tempat wajib pajak bekerja (pemberi kerja) memiliki
kewajiban untuk memotong pajak atas penghasilan sehubungan pekerjaan
yang dibayarkan/terutang kepada karyawannya setiap bulan dan
menyetorkannya ke Kas Negara serta melaporkannya ke kantor pelayanan
pajak setempat. Oleh karena itu gaji yang diterima oleh wajib pajak
orang pribadi yang berstatus sebagai karyawan adalah gaji bersih
setelah dipotong pajak penghasilan. Pajak yang terutang atas
Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dikenal dengan istilah PPh
Pasal 21.

Kewajiban yang harus dilakukan oleh WPOP yang berstatus sebagai
karyawan adalah menyampaikan laporan tahunan (menyampaikan SPT
Tahunan PPh Orang Pribadi) dengan formulir yang telah disediakan.
(Form 1770-S). Apabila wajib pajak orang pribadi ini tidak
menerima/memperoleh penghasilan lain selain dari penghasilan yang
diperoleh dari satu pemberi kerja, maka pada saat menyampaikan SPT
Tahunan tidak akan terdapat PPh yang kurang dibayar.

SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini paling lambat harus dilaporkan 3
bulan setelah berakhirnya tahun pajak (pada tanggal 31 Maret tahun
berikutnya). Jika Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT 1770-S
tersebut maka akan dikenakan sanksi administrasi atas keterlambatan
sebesar Rp 100.000,-. Besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT
PPh OP ini dalam RUU Pajak th 2005 diusulkan menjadi sebesar Rp
250.000,-

Bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT
tetapi isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara diancam dengan sanksi pidana dan
denda. Bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan
SPT tetapi isinya tidak benar karena kealpaannya, diancam dengan
sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling tingi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.

Sementara bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan
surat pemberitahuan atau menyampaikan surat pemberitahuan dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana
penjara paling lama enam (enam) tahun dan denda paling tinggi 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

2. WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang bukan
obyek PPh Final.


Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan
lain selain dari satu pemberi kerja, baik karena bekerja pada lebih
dari satu pemberi kerja maupun memiliki penghasilan lain selain dari
pekerjaan dan penghasilan lain tsb bukan merupakan obyek PPh final,
maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga
memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh pasal 25 setiap
bulan.

Besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak dihitung
berdasarkan PPh yang terutang dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya
setelah dikurangi dengan pemotongan yang dilakukan pihak lain yang
dapat dikreditkan dan dibagi 12 (dua belas).
Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan
berikutnya. Jika jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka
pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pembayaran
Angsuran PPh pasal 25 ini, wajib dilaporkan ke kantor pelayanan
pajak tempat wajib pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya. Apabila jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur maka
penyampaian SPT Masa PPh pasal 25 harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya.

Apabila wajib pajak terlambat melakukan pembayaran PPh pasal 25, maka
akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2%/bulan, maksimum 24 bulan
(48%). Sedangkan atas keterlambatan penyampaian SPT Masa PPh 25 akan
dikenakan sanksi sebesar Rp 50.000/ SPT Masa. Seperti halnya dengan
sanksi keterlambatan penyampaian SPT Tahunan, dalam RUU Perpajakan th
2005 besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT masa diusulkan
menjadi sebesar Rp 100.000,-/ SPT Masa.

3. WPOP Karyawan yang memperoleh penghasilan lain yang merupakan
obyek PPh Final.


Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan
lain selain dari satu pemberi kerja, dan memiliki penghasilan lain
yang merupakan obyek PPh final, maka selain diwajibkan untuk
melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk
membayar dan melaporkan PPh final pasal 4 (2).

Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran
PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib
pajak) adalah sebagai berikut :

• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
WPOP Karyawan yang menerima/memperoleh penghasilan dari transaksi
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh
final pasal 4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi
pegalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari
nilai yang tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan
nilai NJOP.

• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang dierima/diperoleh oleh WPOP karyawan dari kegiatan
persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final
pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh
yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan
atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan.
Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari
jumlah bruto nilai persewaan. Apabila penyewa adalah pemotong pajak
(i.e. WP Badan), maka pelunasan PPh final atas transaksi ini
dilakukan melalui pemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak
(penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final
pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan) .

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah
tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah
tanggal 20 bulan berikutnya.

• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi ;
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP Karyawan dari kegiatan
Jasa Konstruksi (sebagai usaha sampingan misalnya), Apabila pemakai
jasa bukan merupakan pemotong pajak, maka PPh-nya wajib dibayar
sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan
pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya
dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong pajak
(Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh final
pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa
konstruksi adalah sbb :

a) Jasa Perencanaan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari jumlah
bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi ==> 2% (dua persen) dari jumlah
bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi ==> 4% (empat persen) dari jumlah
bruto.


B Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
Kegiatan Usaha atau Pekerjaan Bebas.


Bagi wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha atau
pekerjaan bebas, setelah terdaftar di kantor pelayanan pajak dan
memperoleh NPWP maka akan memiliki kewajiban pajak yang harus
dilaksanakan. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja selain diwajibkan untuk
membayar dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan
dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan
atau terutang kepada karyawannya.

Dalam hal WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas telah
dikukuhkan sebagai Pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban
dibidang PPN. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang telah
ditunjuk oleh dirjen pajak sebagai pemotong PPh Pasal 23 dan PPh
Final pasal 4 (2), juga memiliki kewajiban dibidang PPh 23 dan PPh
Final Pasal 4 (2).

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak Orang Pribadi yang
melakukann kegiatan usaha/pekerjaan bebas setelah memperoleh NPWP
adalah sebagai berikut :

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)

Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka memiliki
kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa/ bulanan ke
kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar. Jenis SPT Masa
yang harus disampaikan oleh wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha/pekerjaan bebas terdiri dari :

a. SPT Masa PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Besarnya
angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut
oleh pihak lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang
dapat dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)

Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak
baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka pembayaran
Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20
jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-hari
yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh pemerintah.
Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT Masa PPh
Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah satu SPT Masa
yang wajib disampaikan oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha/pekerjaan bebas, meskipun tidak terdapat pembayaran
(SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan
sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.

b. SPT Masa PPh Pasal 21/26

PPh pasal 21/26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan ketentuan
Pasal 21 Undang-undang PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan
dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara
kegiatan.

Wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan
bebas selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh wajib
pajak orang pribadi; wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26.
Batas waktu penyetoran PPh Pasal 21/26 adalah tanggal 10 bulan
berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka
penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila tanggal
20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 21/26
harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 21/26 juga merupakan SPT Masa yang wajib
disampaikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas meskipun tidak terdapat penyetoran PPh Pasal
21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan SPT Masa
PPh Pasal 21/26 atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26,
maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk
satu SPT Masa.

Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan pemotongan,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi diatur dalam Keputusan
Dirjen Pajak No KEP-545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

c. SPT Masa PPN

Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta menyampaikan SPT
Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah 20
hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya).
Seperti halnya pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran
PPN jatuh pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu
pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib
dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib
Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meskipun
Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPN
maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu
SPT Masa.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak PPN
dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

o Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
o Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam
satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku;
o Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No 18
tahun 2000 beserta peraturan pelaksanaannya.


d. SPT Masa PPh Pasal 23/26

Direktur Jenderal Pajak dapat menunjuk Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23. Wajib
Pajak Orang Pribadi tertentu tersebut terdiri dari :

o Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah
(PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan,
yang melakukan pekerjaan bebas;
o Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan.

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu tersebut diatas yang
telah ditunjuk Dirjen Pajak, akan mendapatkan urat Penunjukan Sebagai
Pemotong PPh Pasal 23 dari Kantor Pelayanan Pajak tempat WP teraftar.
WPOP tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh 23, Wajib
memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa.

Apabila terdapat pembayaran/pembebanan biaya berupa sewa, maka WPOP
tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh 23 oleh Dirjen
pajak, diwajibkan untuk memotong, menyetor dan melaporkan PPh 23 yang
terutang atas pembaywan sewa tersebut.

Sesuai dengan ketentuan pasal 26 undang-undang PPh, atas penghasilan
berupa :
a. Deviden;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ;
yang diterima atay diperoleh oleh Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.

Apabila WPOP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas melakukan
transaksi dengan wajib pajak luar negeri sehubungan dengan
penghasilan tersebut diatas maka memiliki kewajiban untuk memotong,
menyetor dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan tersebut
(PPh Pasal 26).

Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh adalah
tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT
Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan berikutnya. Apabila
tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal 23/26 jatuh pada hari libur
maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Namun
apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka
laporan harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP apabila
terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26. Dengan demikian
tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.

e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)

1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib
pajak sendiri

Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang memperoleh penghasilan yang merupakan obyek PPh
final, maka diwajibkan untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal
4 (2) yang tertuang atas penghasilan tersebut.
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran
PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib
pajak) adalah sebagai berikut :

• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
WPOP yang menerima/memperoleh penghasilan dari transaksi pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan diwajibkan membayar PPh final pasal
4 (2). Besarnya PPh yang terutang atas transaksi pegalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan ini adalah sebesar 5% dari nilai yang
tertinggi antara nilai pengalihan (nilai transaksi) dengan nilai
NJOP.

• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan persewaan
tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final pasal 4 (2).
Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh yang terutang
atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan
wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang
terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto
nilai persewaan.

Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka pelunasan
PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak
penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan
(Bukti Potong PPh Final pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima
penghasilan) .

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah
tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah
tanggal 20 bulan berikutnya.

• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas Penghasilan
yang diterima/diperoleh oleh WPOP dari kegiatan Jasa Konstruksi, PPh
yang terutang atas penghasilan tersebut wajib dibayar sendiri oleh
wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan pemotong pajak,
maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya dilakukan
melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong pajak (Pemakai jasa)
wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh final pasal 4 (2) yang
terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :

a) Jasa Perencanaan Konstruksi  4% (empat persen) dari jumlah
bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi  2% (dua persen) dari jumlah
bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi  4% (empat persen) dari jumlah
bruto.


2) PPh final atas penghasilan yang terutang/dibayarkan kepada
pihak lain.

Dirjen Pajak dapat menunjuk Wajib pajak Orang Pribadi tertentu
sebagai pemotong PPh Final Pasal 4 (2) atas transaksi persewaan Tanah
dan atau bangunan. Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu yang dapat
ditunjuk sebagai pemotong PPh atas transaksi persewaan tanah dan atau
bangunan oleh DJP adalah:

• Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah
(PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan,
yang melakukan pekerjaan bebas yang telah terdafta sebagai Wajib
Pajak Dalam Negeri,
• Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

WPOP tertentu yang telah mendapat surat penunjukan sebagai pemotong
Pajak atas penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan dari
KPP tempat WP terdaftar memiliki kewajiban untuk memotong,
menyetorkan dan melaporkan PPh final atas penghasilan dari transaksi
persewaan tanah dan atau bangunan yang dibayarkan atau terutang
kepada pihak lain.

PPh yang terutang atas transaksi persewaan tanah dan bangunan
tersebut, wajib disetorkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya
dan wajib dilaporkan ke kantor pelayanan pajak tempat Wajib pajak
(pemotong) terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya.
SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak apabila
terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh final, sehingga
tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)

a. SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1770)

Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk
menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Orang Pribadi – SPT 1770).
SPT Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah akhir
tahun pajak/tahun buku. Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim
maka SPT Tahunan wajib disampaikan paling lambat tanggal 31 Maret
tahun berikutnya.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang :

• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam
1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
• Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek
pajak;
• Harta dan kewajiban;


b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)

Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (SPT 1770), Wajib
Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas
selaku pemotong PPh pasal 21 juga diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan
PPh pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim
berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh
Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun
bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan
SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong
Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-
lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. Batas waktu
pelaporan ini berlaku juga bagi wajib pajak yang tahun bukunya
berbeda dengan tahun takwim.


C Kewajiban Pajak Bagi Wajib Pajak Badan

Kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak setelah terdaftar di
Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah melakukan pembayaran
dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya.

Selain itu, wajib pajak juga memiliki kewajiban untuk
memungut/memotong dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang
dibayarkan/ terutang kepada pihak lainnya. Tatacara pemenuhan
kewajiban tersebut diatur dalam undang-undang no 7 tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-
undang No 17 tahun 2000 beserta peraturan pelaksanannya.

Selain Pajak Penghasilan, bagi pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban dibidang PPN dan
PPn BM yang ketentuannya diatur dalam Undang-undang no 8 tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah
sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No 18 tahun 2000 beserta
peraturan pelaksanaannya.

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah
memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)

Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka memiliki
kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa/ bulanan ke
kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar. Jenis SPT Masa
yang harus disampaikan oleh wajib pajak badan terdiri dari :

a. SPT Masa PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Besarnya
angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut
oleh pihak lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang
dapat dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)

Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak
baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka pembayaran
Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20
jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-hari
yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama oleh pemerintah.
Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT Masa PPh
Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah satu SPT Masa
yang wajib disampaikan oleh wajib pajak badan, meskipun tidak
terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak
menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25, maka
wajib pajak akan dikenakan sanksi berupa denda sebear Rp 50.000 untuk
satu SPT Masa.

Bagi Wajib Pajak Badan selain yang bergerak dibidang usaha pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan, apabila melakukan transaksi
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan wajib menyetor PPh yang
terutang atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. Besarnya
PPh yang terutang adalah 5% dari nilai tertinggi antara nilai
transaksi dengan nilai NJOP. PPh yang terutang atas transaki
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan merupakan uang muka pajak
yang dapat dikreditkan dalam PPh Badan pada akhir tahun.

b. SPT Masa PPh Pasal 21/26

PPh pasal 21 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan ketentuan
Pasal 21 Undang-unang PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan
dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara
kegiatan.

Wajib pajak badan selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh waib pajak orang pribadi wajib menyampaikan SPT Masa
PPh Pasal 21. Batas waktu penyetoran PPh Pasal 21 adalah tanggal 10
bulan berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka
penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila tanggal
20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 21
harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 21 juga merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan
oleh Wajib Pajak Badan meskipun tidak terdapat penyetoran PPh Pasal
21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan SPT Masa
PPh Pasal 21 atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21, maka
akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk satu SPT
Masa.

Ketentuan lebih lanjut tentang Petunjuk pelaksanaan pemotongan,
penyetoran dan pelaporan PPh Pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan
pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi diatur dalam Keputusan
Dirjen Pajak No KEP-545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

c. SPT Masa PPN

Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta menyampaikan SPT
Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah 20
hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya).
Seperti halnya pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran
PPN jatuh pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu
pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib
dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib
Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meskipun
Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPN
maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu
SPT Masa.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak PPN
dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

• Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam
satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku;
• Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Ketentuan mengenai PPN diatur dalam Undang-undang no 8 tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU No 18
tahun 2000 beserta peraturan pelaksanaannya.

d. SPT Masa PPh Pasal 23/26

PPh pasal 23 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan yang
diterima/diperoleh oleh wajib pajak badan dalam negeri atau bentuk
usaha tetap; yang berupa :
• Deviden
• Bunga
• Royalti
• Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21
• Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
• Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain (yg ditetapkan DJP) selain
jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.

PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 23) wajib
dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh Pasal 23; yaitu
badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan wajib pajak luar negeri
lainnya; yang membayar/ memberikan penghasilan yang merupakan obyek
PPh pasal 23.

PPh Pasal 26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan yang
diterima/diperoleh oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang berupa :
g. Deviden;
h. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
i. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta;
j. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
k. hadiah dan penghargaan;
l. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ;

PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 26) wajib
dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh Pasal 26.
Pemotong PPh Pasal 26 yaitu badan pemerintah, subyek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan
wajib pajak luar negeri lainnya; yang membayar/memberikan penghasilan
yang merupakan obyek PPh pasal 26.

Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh adalah
tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT
Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan berikutnya. Apabila
tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal 23/26 jatuh pada hari libur
maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Namun
apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka
laporan harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP apabila
terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26. Dengan demikian
tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.

e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)

1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib
pajak sendiri

Bagi Wajib Pajak Badan yang memperoleh penghasilan yang merupakan
obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan melaporkan PPh
final pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan tersebut.
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran
PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib
pajak Badan) adalah sebagai berikut :

• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
Penghasilan yang dierima/diperoleh oleh WP Badan dari kegiatan
persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final
pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh
yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan
atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan.
Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari
jumlah bruto nilai persewaan.

Apabila penyewa adalah pemotong pajak (i.e. WP Badan), maka pelunasan
PPh final atas transaksi ini dilakukan melalui pemotongan oleh pihak
penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan
(Bukti Potong PPh Final pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima
penghasilan).

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah
tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah
tanggal 20 bulan berikutnya.

• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;
Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas Penghasilan
yang diterima/diperoleh oleh WP Badan (yang tidak memiliki
sertifikasi sebagai pengusaha kontruksi menengah atau besar) dari
kegiatan Jasa Konstruksi, PPh yang terutang atas penghasilan tersebut
wajib dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa
merupakan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas kegiatan ini
pelunasannya dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong
pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh
final pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa
konstruksi adalah sbb :

a) Jasa Perencanaan Konstruksi  4% (empat persen) dari jumlah
bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi  2% (dua persen) dari jumlah
bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi  4% (empat persen) dari jumlah
bruto.

2) PPh final atas penghasilan yang dibayarkan/terutang kepada
pihak lain

Wajib pajak badan yang melakukan pembayaran/memberikan penghasilan
tertentu yang pengenaan pajaknya telah diatur dengan peraturan
pemerintah dan dikenakan PPh final diwajibkan untuk memotong,
menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan
tersebut ke kantor pajak.

Penghasilan yang pengenaan pajaknya telah diatur dengan peraturan
pemerintah dan dikenakan PPh yang bersifat final adalah :
• Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
• Penghasilan dari hadiah undian
• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
• Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan serta diskonto
Sertifikat Bank Indonesia.
• Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan
• Penghasilan dari obligasi yang diperdagangkan di bursa efek
• Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
Apabila terdapat transaksi yang merupakan obyek PPh final, wajib
pajak badan yang melakukan transaksi tersebut wajib memotong,
menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang. Pelaporan PPh final
dilakukan dengan menggunakan SPT Masa PPh Final.

SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak badan
apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh final,
sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)

a. SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1771)

Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk
menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Badan – SPT 1771). SPT
Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun
pajak/tahun buku.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak adalah
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang :

• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam
1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
• Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek
pajak;
• Harta dan kewajiban;

b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)

Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Badan, Wajib Pajak Badan selaku
pemotong PPh pasal 21 juga diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan PPh
pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir,
Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21
yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan
SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong
Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-
lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. Batas waktu
pelaporan ini berlaku juga bagi wajib pajak yang tahun bukunya
berbeda dengan tahun takwim.