WELCONE TO MY BLOG

WELCOME TO MY BLOG

Selasa, 27 Desember 2011

NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN
LUAR NEGERI



BAB V

NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI


A.  PENDAHULUAN

Kebijaksanaan neraca pembayaran merupakan bagian inte- gral dari kebijaksanaan pembangunan dan mempunyai peranan penting dalam pemantapan stabilitas di bidang ekonomi yang diarahkan guna mendorong pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja. Di samping itu juga diusahakan tercapainya perubahan fundamental dalam struktur produksi dan perdagangan luar negeri sehingga dapat mening­katkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap tantangan-tan­-           tangan di dalam negeri dan keguncangan-keguncangan ekonomi dunia, seperti yang digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.
Di bidang perdagangan, kebijaksanaan ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri dalam nege-       ­ri, menunjang pengembangan ekspor nonmigas, memelihara ke­stabilan harga dan penyediaan barang-barang yang dibutuhkan       di dalam negeri serta menunjang iklim usaha yang makin mena-      rik bagi penanaman modal. Kebijaksanaan di bidang pinjaman     luar negeri melengkapi kebutuhan pembiayaan pembangunan di dalam negeri, dan diarahkan untuk menjaga kestabilan perkem­bangan neraca pembayaran secara keseluruhan. Kebijaksanaan  kurs devisa diarahkan untuk mendorong ekspor nonmigas dan mendukung kebijaksanaan moneter dalam negeri.

V/3

B.   PERKEMBANGAN INTERNASIONAL

Kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri dalam tahun 1990/91 banyak dipengaruhi oleh tantangan yang timbul dari perkembangan situasi politik, ekonomi dan moneter dunia. Dalam tahun 1990 ekonomi dunia dilanda kelesu­-an. Produksi dunia hanya mengalami pertumbuhan sebesar 2,1% dibandingkan dengan 3,3% pada tahun 1989. Dalam tahun 1990 pertumbuhan ekonomi negara-negara industri mencapai 2,5% se- dangkan pertumbuhan negara-negara berkembang adalah sebesar 0,6%. Ini merupakan penurunan dari tahun 1989 sewaktu kelom-      ­pok negara ini mencapai masing-masing 3,3% dan 3,1%. Beberapa negara berkembang di Eropa Timur, Timur Tengah dan Amerika Latin bahkan mengalami penurunan dalam produksi nasionalnya. Sebaliknya, negara-negara berkembang di Asia dapat memperta­hankan laju pertumbuhan ekonominya pada tingkat 5,3%.

Seiring dengan perkembangan produksi dunia, laju per­tumbuhan perdagangan internasional juga mengalami penurunan dari 7,1% dalam tahun 1989 menjadi 3,9% dalam tahun 1990. Volume ekspor dan impor negara-negara industri dalam tahun     1990 meningkat dengan cukup pesat, yaitu sebesar masing-ma­-   sing 5,4% dan 5,1%. Sebaliknya, volume ekspor dan impor ne-        ­gara-negara berkembang hanya mengalami kenaikan sebesar     masing-masing 3,7% dan 3,0%. Sementara itu, krisis di wilayah Teluk Persia telah menyebabkan kenaikan dalam harga minyak     bumi sebesar rata-rata 28,3% dalam tahun 1990. Berlawanan dengan perkembangan di pasaran minyak bumi internasional,   harga komoditi primer seperti kopi, karet, dan hasil-hasil tambang justru merosot dengan rata-rata 7,2% selama tahun tersebut. Sebaliknya harga barang-barang manufaktur meningkat dengan 9,6%. Perkembangan tersebut menyebabkan turunnya nilai tukar perdagangan untuk negara-negara industri sebesar 0,5%   dan untuk negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak  bumi sebesar 2,9%. Sedangkan untuk negara-negara pengekspor minyak bumi nilai tukar perdagangan mengalami kenaikan sebe­-    sar 11,0%.

Dalam tahun 1990 perkembangan kurs antar valuta asing utama di dunia relatif lebih stabil. Defisit transaksi ber­-jalan pada neraca pembayaran Amerika Serikat menurun. Ber­-samaan dengan itu surplus transaksi berjalan Jepang dan Jer-     ­man makin menurun, sedangkan defisit negara-negara industri lain membesar. Secara keseluruhan dalam tahun 1990 negara-ne­gara industri mengalami kenaikan dalam defisit transaksi ber­jalan menjadi US$ 60,7 miliar. Karena harga minyak bumi
V/4

meningkat, defisit transaksi berjalan negara-negara berkem­-   bang pengekspor minyak bumi sebesar US$ 6,3 miliar pada tahun 1989 berbalik menjadi surplus sebesar US$ 11,7 miliar pada tahun 1990. Sebaliknya bagi negara-negara berkembang bukan
pengekspor minyak bumi defisit transaksi berjalan meningkat dari US$ 24,8 miliar dalam tahun 1989 menjadi US$ 40,8 miliar dalam tahun 1990.
Di bidang perdagangan internasional usaha-usaha untuk meningkatkan sistem perdagangan dunia yang lebih bebas dan terbuka dalam kerangka Putaran Uruguay dari Negosiasi Per­dagangan Multilateral Persetujuan Umum Tentang Bea Masuk dan Perdagangan (GATT) mengalami berbagai hambatan. Dengan tidak tercapainya kesepakatan, khususnya yang menyangkut liberali-      ­sasi sektor pertanian, maka Sidang Tingkat Menteri yang di­adakan di Brussel dalam bulan Desember 1990 telah menunda ne­gosiasi untuk dilanjutkan pada bulan Pebruari 1991. Sebagai akibatnya baik usaha perluasan perdagangan maupun penyelesai-     ­an perselisihan dalam perdagangan barang dan jasa tetap dila­kukan atas dasar bilateral. Selama tahun 1990/91 juga dicatat semakin menonjolnya usaha peningkatan kerja sama regional ke arah pembentukan blok-blok perdagangan.
Sementara itu, berkembangnya sistem politik dan ekonomi yang lebih terbuka di Uni Soviet, penyatuan kembali Jerman, perkembangan selama dan sesudah krisis Teluk Persia serta reformasi politik dan ekonomi di Eropa Timur telah meng- akibatkan berbagai gejolak dan pergeseran dalam imbangan hubungan ekonomi antar negara.
Perubahan dalam iklim politik dan ekonomi global ter­-     sebut telah mendorong sejumlah negara berkembang yang dikenal sebagai Kelompok 15 berupaya untuk makin meningkatkan kerja sama dan kemandirian negara-negara berkembang secara keselu­ruhan. Konperensi Tingkat Tinggi pertama yang diadakan di     Kuala Lumpur dalam bulan Juni 1990 merumuskan proyek-proyek kerja sama di bidang pangan, kependudukan, keuangan dan per­dagangan.
Di dalam kelompok ASEAN terus dilanjutkan kerja sama antara negara-negara anggota. Di bidang perdagangan disepa-      ­kati untuk memperbesar tingkat preferensi dan memperluas cakupan barang dalam Perjanjian Perdagangan Preferensial (PTA). Bersamaan dengan itu tercapai kesepakatan untuk me­ngurangi jenis barang dalam Daftar Pengecualian Preferensi
V/5

hingga 5% dari jumlah jenis barang yang diperdagangkan antara negara-negara anggota ASEAN. Selanjutnya terus ditingkatkan pula kerja sama di bidang perdagangan, pariwisata, investasi, pertanian dan energi antara ASEAN dengan negara-negara indus­tri seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia dan Masyarakat Ekonomi Eropa.
C. PERKEMBANGAN NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR         NEGERI

1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri

Pada tahun 1990, sebelum krisis di kawasan Teluk timbul, situasi perekonomian dunia sudah menunjukkan gejala melemah. Timbulnya berbagai masalah ekonomi dan politik yang terjadi selama tahun 1990 di Eropa Timur, Uni Soviet dan sekitar    Teluk Persia, telah mengakibatkan situasi perekonomian dunia semakin tidak menentu. Situasi ini mengakibatkan kelesuan dalam kegiatan perekonomian dunia yang pada gilirannya mem­pengaruhi ekspor Indonesia.
Sementara itu pasaran minyak bumi internasional yang mempunyai peranan sangat besar terhadap perkembangan ekonomi dunia, selama tahun 1990/91 mengalami berbagai goncangan yang menyebabkan perkembangan harga tidak stabil.
Dalam rangka memantapkan harga minyak di pasar dunia, pada bulan Juli 1990 negara-negara anggota OPEC sepakat untuk meningkatkan batas produksinya dari 22,1 juta barel/hari men­jadi 22,5 juta barel/hari dalam semester II 1990, serta me­naikkan harga patokan dari US$ 18 per barel menjadi US$ 21 per barel. Perkembangan krisis di kawasan Teluk yang dimulai
bulan Agustus 1990, telah mendorong harga minyak bumi di atas US$ 30 per barel pada bulan Oktober 1990.
Di tengah-tengah kemelut di kawasan Teluk, dalam usaha mengendalikan harga minyak bumi dan sekaligus mengatasi ke­kurangan minyak bumi di pasar internasional, negara-negara anggota OPEC memutuskan untuk meningkatkan produksinya. Se­mentara itu, negara-negara industri juga melepaskan cadangan minyaknya. Berakhirnya perang di kawasan Teluk pada bulan Fe­bruari 1991 segera diikuti oleh harga minyak bumi yang me-        ­rosot cukup tajam menjadi sekitar US$ 17 per barel pada bulan Maret 1991. Walaupun kenaikan harga minyak bumi hanya ber-        ­sifat sementara, namun perkembangan itu telah meningkatkan
V/6

harga rata-rata minyak bumi dan telah meningkatkan penerimaan ekspor minyak bumi Indonesia selama tahun 1990/91.

Sementara itu, selama dua tahun pelaksanaan Repe-                 ­lita V kebijaksanaan deregulasi dilanjutkan. Selama masa itu berbagai kebijaksanaan di bidang perdagangan dan keuangan
luar negeri telah diambil dengan tujuan untuk mempertahankan momentum pembangunan.
Sebagai kelanjutan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan se­belumnya, pada tanggal 28 Mei 1990 telah dikeluarkan paket kebijaksanaan yang mencakup sektor industri, kesehatan, per- tanian, dan perdagangan, yang berisikan perubahan cukup men-          ­dasar dalam rangka pengembangan industri nasional. Dalam          paket kebijaksanaan ini, perlindungan berupa nontarif ba-             ­rang-barang produksi dalam negeri semakin dikurangi dan di­alihkan ke bentuk perlindungan melalui tarif bea masuk dan          bea masuk tambahan. Jumlah pos tarif makin disederhanakan dan
tingkat bea masuk rata-rata diupayakan untuk terus menurun.        Di samping itu, telah diambil pula kebijaksanaan untuk meng­-hapus tata niaga komoditi ekspor tertentu.
Untuk memberikan landasan yang lebih kokoh dalam meng-         ­hadapi berbagai gejolak di perekonomian dunia serta untuk meningkatkan penerimaan devisa dari ekspor di luar minyak dan gas bumi, dalam dua tahun pelaksanaan Repelita V kebijaksana-          ­an di bidang ekspor terus disempurnakan.
Paket Mei 1990 mencakup langkah-langkah kebijaksanaan di bidang ekspor, yang antara lain berisikan penghapusan tata     niaga komoditi ekspor seperti: pala dan bunga pala, tengka-          ­wang, cassia vera (kayu manis), dan sayur-mayur khususnya          dari Sumatera Utara. Dengan adanya pembebasan tata niaga ini maka barang-barang tersebut dapat langsung diekspor oleh eks­portir umum yang telah mempunyai Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau izin usaha dari departemen teknis atau lembaga pemerintah nondepartemen yang berwenang. Di samping itu, tata niaga ekspor untuk kopi dan beberapa macam hasil kayu di­sempurnakan.
 Untuk komoditi kopi, ketentuan-ketentuan tata niaganya       juga disempurnakan. Pada tahun 1989/90 telah dikeluarkan kebijaksanaan mengizinkan eksportir kopi menggunakan Surat Persetujuan Ekspor Kopi untuk mengapalkan ekspor kopi dari seluruh propinsi di Indonesia. Dengan adanya pembekuan kuota ekspor kopi oleh Organisasi Kopi Internasional (ICO), maka
V/7

dalam paket Mei 1990 ditentukan bahwa eksportir kopi ter-         ­daftar dapat mengekspor kopi, baik ke negara kuota maupun nonkuota, tanpa melalui Kelompok Pemasaran Bersama (KPB).

Dalam rangka melestarikan dan memanfaatkan hutan serta untuk memperluas kesempatan kerja, telah dicabut kebijaksana­-     an yang selama ini melarang ekspor barang dari segala bentuk yang terbuat dari kayu cendana, laka dan gaharu. Dengan demi­kian sejak bulan Mei 1990 segala bentuk kayu cendana, kayu     laka gergajian dan kayu laka olahan dapat diekspor, walaupun masih dikenakan ketentuan tata niaga, yaitu hanya dapat di­ekspor oleh eksportir terdaftar sesuai dengan masing-masing jenis kayunya. Sedangkan kayu laka dalam bentuk selain yang disebut di atas dan segala bentuk kayu gaharu dapat diekspor oleh semua eksportir yang memiliki Surat Izin Usaha      Perdagangan (SIUP) yang berlaku umum di bidang ekspor.

Selanjutnya, dalam bulan September 1990 ketentuan tata niaga ekspor serta kuota tekstil dan produk tekstil disempur­nakan. Untuk menghindari kelebihan pasokan (overshipment) ke negara-negara kuota sebagai akibat meningkatnya tingkat pro­duksi dan kemampuan ekspor tekstil dan produk tekstil, telah ditunjuk PT Sucofindo untuk melaksanakan pemantauan reali-        ­sasi ekspor sesuai dengan kuota yang disepakati dalam per­janjian bilateral. Di samping itu ditentukan pula bahwa        ekspor tekstil dan produk tekstil ke negara kuota hanya dapat dilaksanakan oleh Eksportir Terdaftar Tekstil dan Produk Tekstil, sedangkan ke negara nonkuota dapat dilaksanakan oleh eksportir yang mempunyai Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau izin usaha dari departemen teknis atau lembaga pemerin­-     tah nondepartemen yang berwenang.

Di bidang perkreditan, sejak dikeluarkannya paket kebi­jaksanaan Januari 1990 subsidi bunga Kredit Ekspor dihapus­-     kan. Dengan demikian tingkat suku bunga Kredit Ekspor disama­-kan dengan tingkat suku bunga kredit yang berlaku umum di      dalam negeri.

Upaya-upaya untuk lebih memperluas pasaran ekspor terus digalakkan. Dalam tahun 1990/91 dilaksanakan pengiriman ber­bagai misi dagang, pameran-pameran dagang di luar negeri     serta kegiatan promosi untuk menarik importir luar negeri berkunjung di Indonesia. Selain itu untuk menjaga kesinam-           ­bungan dan memperluas akses pasar bagi produk-produk ekspor       di masa mendatang, peran serta Indonesia di forum interna­-sional dalam kerangka hubungan ekonomi dan perdagangan dengan

V/8

negara-negara lain, baik hubungan bilateral, regional dan multilateral, terus ditingkatkan. Indonesia aktif berpartisi­pasi dalam negosiasi Putaran Uruguay (GATT) dan berbagai     forum kerja sama internasional seperti Asosiasi Negara-negara Penghasil Karet Alam (ANRPC), Organisasi Karet Alam Inter­nasional (INRO), Organisasi Kopi Internasional (ICO), dan Asosiasi Negara Produsen Timah (ATPC). Khusus mengenai timah, dalam kaitannya dengan kemerosotan harga timah dewasa ini, negara-negara anggota ATPC dalam sidangnya di Bolivia pada hulan September 1990 telah sepakat untuk membatasi ekspor timah dalam tahun 1991 menjadi 6% lebih rendah dibandingkan tahun 1990.

Sementara itu di bidang impor dan jasa-jasa, tata niaga impor, tarif bea masuk dan bea masuk tambahan semakin disem­purnakan.

Di bidang impor, paket Mei 1990 menyempurnakan mekanisme bea masuk dan bea masuk tambahan serta tata niaga impor atas sejumlah bahan baku/penolong yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Tata niaga impor untuk 1.013 jenis produk industri dihapuskan sedang untuk 371 jenis produk industri disederhanakan. Sementara itu jumlah pos tarif bea masuk di­sederhanakan dari 3.006 pos menjadi 2.827 pos dan berbagai tingkat tarif diserasikan.

Untuk mewujudkan pengadaan obat dalam negeri yang ter­jangkau oleh daya beli masyarakat telah dibebaskan bea masuk tambahan terhadap impor 55 jenis obat jadi, termasuk obat-        ­obat untuk injeksi dan infus. Deregulasi di sektor kesehatan ini juga mencakup perubahan tingkat bea masuk menjadi nol     atau 5 persen atas impor bahan baku obat jenis tertentu. Se­dangkan untuk produk farmasi seperti vaksin partusis, vaksin campak dan vaksin polio ditetapkan bea masuk dan bea masuk
tambahannya sebesar nol persen.

Dalam rangka lebih memacu perkembangan industri elek­tronika di dalam negeri, tarif bea masuk terhadap komponen, bahan baku dan barang jadi diserasikan dan tata niaganya di­bebaskan. Di samping itu, industri jam dan kerajinan perhias­-an emas yang merupakan industri padat karya, memperoleh dorongan khusus berupa penurunan bea masuk atas komponen-kom­ponen dari kedua komoditi tersebut.

Untuk memenuhi kebutuhan sarana pengangkutan, impor truk ringan dan sedang serta traktor jalan untuk semi trailer
V/9

dalam keadaan terpasang (CBU) telah dibuka kembali dengan bea masuk yang lebih rendah dan dengan kuota sebanyak 37.415 unit, sampai akhir tahun 1991. Selanjutnya dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga listrik bagi kegiatan produksi di sektor industri, pada bulan Januari 1991 bea masuk atas impor mesin diesel dengan output melebihi 375 KVA yang dipergunakan se­bagai pembangkit tenaga listrik kawasan industri dibebaskan.

Di bidang jasa-jasa, terus dilanjutkan usaha-usaha yang ditujukan untuk meningkatkan penerimaan devisa dan sekaligus melakukan penghematan dalam penggunaannya. Dalam rangka men­dorong pertumbuhan dan perkembangan sektor pariwisata, telah dilakukan berbagai kegiatan promosi antara lain penetapan tahun 1991 sebagai Tahun Kunjungan. Wisata Indonesia dan kam­panye Sadar Wisata secara nasional.

Dalam pada itu, dana yang berasal dari luar negeri masih tetap diperlukan guna memenuhi kebutuhan pembiayaan pemba­ngunan yang belum sepenuhnya dapat dibiayai oleh dana yang berasal dari dalam negeri. Dana pinjaman yang berasal dari luar negeri tersebut meliputi pinjaman pemerintah, pinjaman sektor swasta dan penanaman modal asing.

Kebijaksanaan di bidang pinjaman luar negeri, tetap di­laksanakan secara berhati-hati dan senantiasa mengutamakan pinjaman bersyarat lunak dan tanpa ikatan politik, memperha­tikan kemampuan untuk membayar kembali, serta menggunakan pinjaman untuk proyek-proyek yang dipandang produktif dan sesuai dengan rencana pembangunan yang telah digariskan. Da-        ­lam kaitan ini, tetap diupayakan untuk mendapatkan pinjaman khusus yang bersyarat lunak dan dapat dirupiahkan serta dapat segera ditarik yang ditujukan untuk membantu mengatasi keter­batasan dana rupiah untuk membiayai proyek-proyek pembangunan dan sekaligus mendukung neraca pembayaran.

Dalam rangka mengamankan beban pembayaran pinjaman di masa mendatang, terus dilanjutkan usaha untuk mengendalikan penggunaan fasilitas Kredit Ekspor. Fasilitas ini merupakan pinjaman bersyarat setengah lunak dan seringkali disertai suatu keharusan untuk membeli barang-barang dari negara pem­-       beri pinjaman. Dalam rangka memelihara kredibilitas dan mar-        ­tabat bangsa Indonesia di dunia internasional, kebijaksanaan pembayaran kembali hutang Pemerintah tetap menganut kebijak­sanaan untuk membayar sesuai dengan jadwal yang telah dite­tapkan.

V/10

Untuk mendorong gairah investasi, baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), be­berapa kebijaksanaan penting telah diambil. Pada tahun         1989/90 dikeluarkan daftar yang jauh lebih sederhana yang
mengatur bidang-bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal (Daftar Negatif Investasi) sebagai pengganti dari Daftar         Skala Prioritas. Selanjutnya untuk mendukung diversifikasi ekspor nonmigas, mulai bulan Mei 1990 PMA diijinkan melakukan budi daya ayam ras dengan syarat bekerja sama dengan peter­-nakan rakyat dan mengekspor sekurang-kurangnya 65 persen dari hasil produksinya.

2. Perkembangan Neraca Pembayaran

Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun 1990/91       sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik militer sekitar Teluk Persia serta timbulnya gejala resesi di negara-negara industri. Harga komoditi primer secara umum cenderung menurun sedangkan harga minyak bumi yang semula lesu, melonjak mulai awal semester ke dua tahun 1990 dan kemudian disusul dengan kemerosotan dalam triwulan pertama tahun 1991. Di dalam ne-         ­geri, investasi yang meningkat sangat pesat mengakibatkan pertumbuhan impor yang amat pesat pula, terutama impor ba­-           rang-barang modal. Peningkatan kegiatan investasi juga sangat meningkatkan penggunaan berbagai bahan baku dan penolong ter­tentu seperti bahan bakar minyak, semen, besi dan baja. Me­ningkatnya investasi juga menimbulkan tekanan-tekanan pada kapasitas beberapa prasarana dasar seperti listrik, pelabuhan
dan telekomunikasi.

Dalam tahun 1990/91 nilai ekspor secara keseluruhan meningkat sebesar 18,1% dari US$ 23,8 miliar pada tahun     1989/90 menjadi US$ 28,1 miliar. Laju pertumbuhan tersebut menurun dibandingkan dengan kenaikan sebesar 20,2% dalam       tahun 1989/90. Melambatnya pertumhuhan ekspor dalam tahun 1990/91 ini terutama karena laju pertumbuhan ekspor di luar minyak dan gas bumi menurun dari 19,0% menjadi 6,1%. Laju pertumbuhan nilai ekspor minyak bumi dan gas alam cair (LNG) termasuk gas minyak bumi cair (LPG) masing-masing meningkat dari 25,6% menjadi 28,1% dan dari 15,8% menjadi 54,5% (lihat Tabel V-1, Tabel V-2 dan Grafik V-1). Peranan ekspor di luar minyak dan gas bumi dalam nilai ekspor keseluruhan menurun     dari 60,8% dalam tahun 1989/90 menjadi 54,6% dalam tahun
1990/91.

V/11

Sementara itu, nilai impor (f.o.b.) keseluruhan dalam tahun 1990/91 meningkat pesat yaitu dengan 32,5%, sedangkan dalam tahun 1989/90 impor meningkat dengan 21,4%. Seperti     yang disebutkan di atas, peningkatan impor selama dua tahun terakhir ini terutama disebabkan oleh peningkatan impor di          luar migas sebagai akibat dari peningkatan kegiatan investasi.

Pengeluaran devisa netto untuk jasa-jasa dalam tahun 1990/91 mengalami peningkatan sebesar 9,9% dibanding dengan tahun 1989/90. Untuk jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi dan jasa-jasa di sektor minyak bumi, pengeluaran devisa netto mengalami kenaikan sebesar masing-masing 10,2% dan      9,1%. Demikian pula pengeluaran devisa netto untuk jasa-jasa        di sektor LNG dan LPG meningkat dengan 10,1%. Sementara itu, penerimaan devisa dari jasa-jasa di luar jasa-jasa sektor minyak dan bumi menunjukkan kenaikan sebesar 16,0% dari US$ 2.373 juta menjadi US$ 2.752 juta. Salah satu pos terpenting dalam penerimaan jasa-jasa ini adalah penerimaan dari sektor pariwisata, yang meningkat pesat dari US$ 1.630 juta pada        tahun 1989/90 menjadi US$ 2.199 juta pada tahun 1990/91 atau naik sebesar 34,9%.

Dalam tahun 1990/91 kecenderungan umumnya adalah surplus perdagangan yang mengecil dan defisit jasa-jasa yang membe­-     sar. Sebagai akibatnya defisit transaksi berjalan meningkat dari US$ 1.599 juta dalam tahun 1989/90 menjadi US$ 3.741        juta dalam tahun 1990/91.

Bersamaan dengan defisit transaksi berjalan yang membe­-sar, arus modal yang masuk sangat meningkat terutama modal sektor swasta. Di sektor pemerintah justru terjadi penurunan arus modal sebesar 9,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bantuan program turun dari US$ 1.037 juta menjadi US$ 718       juta karena menurunnya pembiayaan melalui bantuan khusus dari US$ 1.031 juta menjadi US$ 718 juta, sedangkan bantuan pro­-    gram berupa pangan sudah tidak ada lagi. Dalam pada itu, bantuan proyek bersyarat lunak meningkat sebesar 14,3% dari    US$ 2.939 juta menjadi US$ 3.358 juta, sesuai dengan kebijak­sanaan untuk sebanyak mungkin mengusahakan pinjaman bersyarat lunak. Penggunaan seluruh bantuan khusus menurun dari US$     1.670 juta pada tahun 1989/90 menjadi US$ 1.310 juta pada     tahun 1990/91. Sementara itu, pelunasan pokok hutang luar ne­geri pemerintah naik dengan 10,7% dari US$ 3.686 juta dalam tahun 1989/90 menjadi US$ 4.082 juta dalam tahun 1990/91.

V/12

TABEL V - 1
RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN,
1988/89 - 1990/91
(juta US dollar)



Repelita V

U r a i a n

1988/89
1989/90

1990/91 2)
A.
BARANG DAN JASA
1. Ekspor (f.o.b.)

   19.824
 23.830

  28.143

bukan minyak bumi & gas alam cair

   12.184
 14.495

  15.386

minyak bumi

     5.007
   6.288

   8.053

gas alam cair 3)

     2.633
   3.049

   4.710

2. Impor (f.o.b.)

1 .311
-17.374

-23.028

bukan minyak bumi & gas alam cair

-1 .239
-14.845

-19.448

minyak bumi

    -1.912
  -2.342

  -3.388

gas alam cair

-160
  -187

  -192

3. Jasa-jasa (netto)

   -7.372
  -8.055

  -8.856

bukan minyak bumi & gas alam cair


  -5.159

  -5.683

minyak bumi

   -1.560
  -1.635

  -1.783

gas alam cair

      -948
  -1.262

  -1.390

4. Transaksi Berjalan

    -1.859
  -1.599

  -3.741

bukan minyak bumi & gas alam cair

    -4.919
  -5.510

  -9.751

minyak bumi

     1.535
   2.311

   2.882

gas alam cair

     1.525
   1.600

   3.128
B.
PINJAMAN PEMERINTAH

     6.588
   5.516

   5.006

1. Bantuan Program 4)

882
   1.037

  718

2. Bantuan Proyek 5)

     3.610
   2.939
1)
  3.358

3. Pinjaman Proyek Lain

     1.111
    722
1)
  853

4. Pinjaman Tunai/Lain

985
    818

    77
C.
PELUNASAN PINJAMAN PEMERINTAH 6)

    -3.763
  -3.686

 -4.082

1. Hutang-hutang sebelum Juli 1966

-88
   -87

-158

2. Hutang-hutang setelah Juli 1966

    -3.675
 -3.599

 -3.924
D.
PEMASUKAN MODAL LAIN (netto)

-211
 575

  5.856

1. Investasi langsung

878
  1.071

  1.849

2. Pelunasan pinjaman investasi

-293
-349

-425

3. Pinjaman lain

707
289

  1.301

4. Pelunasan atas pinjaman lain

-470
-508

-471

5. Modal lainnya

    -1.033
72

  3.602
E.
F.
S.D.R.
LALU LINTAS MONETER

-
-
     677
-
-
-248

-
-
 -3.302

1. Posisi kredit IMF (netto)

5


   -7

2. Hutang jangka pendek (netto)
3. Piutang jangka pendek

-
672
-
-248

     -
 -3.295
G.
SELISIH YANG TIDAK DIPERHITUNGKAN

   -1.432
-558

 263







1) Angka diperbaiki
2) Angka sementara
3) Termasuk gas minyak bumi cair (LPG)
4) Termasuk yang dibiayai melalui Bantuan Khusus
5) Termasuk Bantuan Khusus yang tidak berupa Bantuan Program (Local Cost dan Sector Loan)                 6) Pokok pinjaman
V/13

TABEL V - 2
NILAI EKSPOR (F.O.B.),
1988/89 - 1990/91
(juta US dollar)



Repelita V


1988/89

1989/90

1990/911)
Jenis Komoditi






 Nilai
Nilai
(% Kenaikan)
Nilai
(% Kenaikan)
Di luar Minyak
dan Gas Bumi
12.184
14.493
(19,0)
15.380
(6,1)
Minyak Bumi dan
Hasil-hasilnya
 5.007
 6.288
(25,6)
 8.053
(28,1)
Gas Alam Cair 2)
 2.633
 3.049
(15,8)
 4.710
(54,5)
Jumlah
19.824
23.830
(20,2)
28.143
(18,1)
1) Angka sementara
2) Termasuk gas minyak bumi cair (LPG)
GRAFIK V - 1
PERKEMBANGAN NILAI EKSPOR (F.O.B),
1988/89 - 1990/91
V/14

TABEL V - 3
NILAI IMPOR (F.O.B.),
1988/89 - 1990/91
(juta US dollar)



Repelita V


Jenis Komoditi
1988/89

1989/90

1990/91 1)

Nilai

Nilai
(1 Kenaikan)

Nilai
(1 Kenaikan)

Di luar Minyak
dan Gas Bumi
12.239
14.845
(21,3)
19.448
(31,0)


Minyak Bumi dan
Hasil-hasilnya
 1.912
 2.342
(22,5)
 3.388
(44,7)

Gas Alam Cair
   160
   187
(16,9)
192
(2,7)

Jumlah
14.311
17.374
(21,4)
23.028
(32,5)

1) Angka sementara





GRAFIK V - 2
PERKEMBANGAN NILAI IMPOR (F.O.B),
1988/89 - 1990/91




V/15


Di sektor swasta, pemasukan modal (netto) dalam tahun 1990/91 mengalami pelonjakan tajam, dari US$ 575 juta tahun 1989/90 menjadi US$ 5.856 juta. Di antara transaksi modal tersebut penanaman modal asing meningkat dari US $ 1.071 juta menjadi US$ 1.849 juta atau meningkat sebesar 72,6%. Begitu pula pemasukan modal oleh BUMN dan sektor swasta lainnya masing-masing meningkat dari US$ 289 juta menjadi US$ 1.301 juta dan dari US$ 1.395 juta menjadi US$ 5.061 juta.

Pos selisih yang tidak diperhitungkan dalam tahun   1990/91 adalah positif dan berjumlah US$ 263 juta. Pos terse­but terutama mencerminkan transaksi modal jangka pendek be-           ­rupa perubahan dalam posisi hutang-piutang terhadap luar negeri dari bank-bank devisa swasta yang tidak terekam oleh transaksi-transaksi neraca pembayaran lainnya.

Semua perkembangan tersebut telah menyebabkan cadangan devisa meningkat dalam tahun 1990/91. Jumlah cadangan devisa yang ada di Bank Indonesia meningkat dari US$ 6.259 juta pada akhir tahun 1989/90 menjadi US$ 9.561 juta pada akhir tahun 1990/91. Jumlah cadangan devisa tersebut cukup untuk mem­biayai impor (c. & f.) di luar sektor minyak dan gas bumi selama 5,3 hulan.

D.   EKSPOR

     Seperti disebutkan di atas, perang Teluk dan perkembang­-an perekonomian dunia yang kurang menggembirakan pada tahun 1990/91 mempunyai dampak langsung terhadap ekspor Indonesia secara keseluruhan (lihat Tabel V-1 dan V-2). Dalam tahun 1990/91 ekspor migas meningkat secara berarti, sedangkan eks­por nonmigas meskipun tetap meningkat, mengalami perlambatan pertumbuhan. Nilai ekspor migas meningkat dengan 36,7%, yaitu dari US$ 9,3 miliar dalam tahun 1989/90 menjadi US$ 12,8 miliar dalam tahun 1990/91. Peningkatan ini terutama disebab­kan oleh meningkatnya harga minyak dan gas bumi di pasar internasional sehubungan dengan timbulnya krisis Teluk.
     Dalam pada itu ekspor nonmigas, meskipun masih mengalami peningkatan, laju pertumbuhannya menurun. Dalam tahun 1990/91 nilai ekspor nonmigas mencapai US$ 15,4 miliar, atau mening-           ­kat dengan 6,1% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Per­lambatan pertumbuhan ekspor nonmigas terutama bersumber pada kemerosotan harga yang tajam untuk berbagai barang-barang tambang dan pertanian. Harga timah, dan volume ekspor nikel,
V/16

aluminium serta emas menurun dan harga berbagai komoditi per­tanian penting seperti karet dan lada merosot. Sementara itu volume ekspor kayu bulat dan gergajian juga menurun. Sedang­-     kan ekspor hasil-hasil industri pengolahan justru masih me­ningkat cukup pesat.

Perkembangan lebih rinci dari beberapa komoditi ekspor nonmigas selama tahun 1990/91 adalah sebagai berikut.
Ekspor "kayu" masih tetap merupakan penyumbang devisa terbesar dari ekspor nonmigas. Hal ini didukung oleh usaha- usaha pemasaran yang semakin mantap, sehingga memungkinkan peningkatan nilai ekspor kayu lapis dan kayu olahan lainnya. Nilai ekspor kayu lapis dalam tahun 1990/91 mencapai US$ 2.794,0 juta, atau meningkat sebesar 14,61 dibandingkan    dengan tahun sebelumnya. Sementara di lain pihak, dampak dari kenaikan pajak ekspor kayu gergajian sejak 1 Nopember 1989     yang dimaksudkan untuk meningkatkan perolehan nilai tambah di dalam negeri, menyebabkan nilai ekspor kayu gergajian dalam tahun 1990/91 merosot (lihat Tabel V-4).
Perkembangan "ekspor tekstil dan pakaian jadi" dalam    tahun 1990/91 tetap menggembirakan dengan kenaikan nilai eks-         ­por sebesar 23,11, yaitu dari US$ 2.218,9 juta menjadi US$ 2.730,6 juta, walaupun terdapat persaingan yang semakin tajam dan ada hambatan-hambatan, baik berupa tarif maupun nontarif dari negara-negara industri. Perlu ditambahkan, jika pada tahun-tahun sebelumnya ekspor pakaian jadi jenis-jenis ter-          ­tentu ke Amerika Serikat belum memenuhi kuota yang ditetap-        ­kan, maka pada tahun 1990/91 kuota tersebut telah dapat ter­penuhi. Sebagian besar ekspor tekstil dan pakaian jadi masih ditujukan ke Amerika Serikat, Singapura, Jepang dan negara­negara anggota Masyarakat Eropa.
Sementara itu, nilai ekspor “udang, ikan dan hasil hewan lainnya" mengalami peningkatan yang  cukup pesat. Apabila pada tahun 1989/90 nilai ekspornya baru mencapai US$ 722,9 juta,     maka pada tahun 1990/91 telah mencapai US$ 1.106,Z juta, atau meningkat sebesar 53,0%. Peningkatan tersebut terutama dise­babkan oleh meningkatnya harga udang di pasar internasional. Pasaran ekspor udang sebagian besar masih ditujukan ke Je­-         pang, Amerika Serikat dan Singapura.
Seperti disebutkan di atas, dalam tahun 1990/91 harga berbagai komoditi tambang merosot. Ekspor "hasil tambang di luar timah dan aluminium" dalam tahun 1990/91 hanya mencapai
V/17

US$ 1.054,4 juta, atau menurun sebesar 4,6% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebaliknya dapat dikemukakan bahwa nilai ekspor tembaga dan batu bara mengalami kenaikan sehu­bungan dengan meningkatnya produksi.
Dalam tahun 1990/91 nilai ekspor "kopi" mencapai US$   366,0 juta atau menurun sebesar 19,1% dari tahun sebelumnya. Dalam pada itu, volumenya mencapai 414,0 ribu ton atau me­ningkat sebesar 3,7% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Terlihat di sini bahwa harga yang merosot merupakan penyebab utama turunnya nilai ekspor. Perkembangan ini tidak terlepas dari dibekukannya sistem kuota oleh organisasi kopi interna­sional (1CO) sejak Juli 1989, yang menyebabkan penawaran kopi di pasar internasional sangat meningkat, persaingan pemasaran kopi semakin tajam dan akhirnya harga jatuh.

Sementara itu perkembangan ekspor "semen" dalam tahun 1990/91 menurun sebagai akibat dari peningkatan yang pesat dari pemakaian semen di dalam negeri. Nilai dan volume ekspor semen pada tahun tersebut menurun masing-masing sebesar 45,7% dan 56,3% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sebaliknya, nilai dan volume ekspor "tembakau" pada     tahun 1990/91 meningkat pesat masing-masing sebesar 61,1% dan 28,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, atau masing-ma-           ­sing mencapai US$ 70,1 juta dan 20,0 ribu ton. Meningkatnya nilai ekspor tembakau tersebut, disebabkan oleh membaiknya harga tembakau di pasar internasional, sehingga mendorong kenaikan volume ekspornya.
Sementara itu, sebagai dampak yang berkelanjutan dari kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang telah di­laksanakan, diversifikasi produk ekspor semakin mantap dan pangsa pasar dari hasil-hasil industri pengolahan semakin me­luas. Dalam tahun 1990/91 nilai ekspor "hasil kerajinan tangan” dan "alat-alat listrik" mencapai US$ 349,8 juta dan US$ 265,6 juta, atau meningkat masing-masing sebesar 39,5%    dan 51,l% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di samping itu, ekspor sepatu dan peralatan kaki lainnya, mesin dan alat pengangkutan, serta perabotan, dalam dua tahun terakhir me­nunjukkan peningkatan yang sangat berarti.

V/18

TABEL V - 4

VOLUME DAN NILAI BEBERAPA EKSPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI, 1)
1988/89 – 1990/91
(Volume dalam ribu ton dan Nilai dalam juta US dollar)



V/19


TABEL V – 5
HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR, 1)
1988/89 – 1990/91




v/20


E.   IMPOR DAN JASA-JASA


Perkembangan kegiatan ekonomi dan pembangunan serta rangkaian kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi yang telah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir ini sangat besar terhadap perkembangan impor selama dua tahun pertama Repelita V.

Nilai impor (f.o.b.) secara keseluruhan dalam tahun 1990/91 berjumlah US$ 23,0 miliar atau 32,5% lebih tinggi       dari realisasi impor dalam tahun 1989/90 sebesar US$ 17,4 miliar. Kenaikan itu terjadi akibat meningkatnya nilai impor dari semua sektor, baik sektor di luar minyak dan gas bumi, maupun sektor minyak dan gas bumi. Dari seluruh impor dalam tahun 1990/91 nilai impor sektor di luar minyak bumi ber­jumlah sekitar US$ 19,4 miliar atau 31,0% lebih besar dari     US$ 14,8 miliar dalam tahun 1989/90. Seperti diuraikan di atas, hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya kegiatan perekonomian dalam negeri yang didorong oleh peningkatan ke­giatan investasi. Dalam pada itu, impor sektor minyak bumi telah meningkat sebesar 44,7% dalam tahun 1990/91 hingga men­-     capai US$ 3.388 juta. Perkembangan ini terutama karena naik­-      nya harga impor minyak mentah dan bahan bakar minyak. Semen­-     tara itu, impor sektor gas alam cair juga meningkat. Jika dibandingkan dengan impor pada tahun terakhir Repelita IV (1988/89 yang berjumlah US$ 14,3 miliar, maka impor secara keseluruhan dalam tahun 1990/91 telah menunjukkan peningkat-         ­an yang cukup tajam, yaitu sebesar 26,8% per tahun (lihat Tabel V-3).

Komposisi impor di luar minyak dan gas bumi dalam tahun 1989/90 didominasi oleh impor bahan baku dan penolong yang mengambil bagian sekitar 44% dari seluruh impor nonmigas. Na­-mun dalam tahun 1990/91, kategori barang modal merupakan ke­lompok barang impor yang terbesar, yaitu 43,9% dari impor nonmigas. Sementara itu peranan impor barang konsumsi dalam     dua tahun pertama Repelita V ini semakin menurun dari 18,1% menjadi 16,9%, dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita IV sebesar 20,2% (lihat Tabel V-6 dan Tabel V-7). Perkembangan impor tersebut mencerminkan semakin berkembangnya kegiatan industri di dalam negeri.

Impor barang modal meningkat sejalan dengan peningkatan kegiatan investasi di dalam negeri. Selama dua tahun pertama pelaksanaan Repelita V, golongan impor ini meningkat ber-            ­turut-turut 66,4% dan 42,6%. Secara lebih rinci, kenaikan


 V/21

TABEL   V - 6
PERKEMBANGAN  IMPOR  DI  LUAR  SEKTOR  MINYAK  DAN  GAS  BUMI
MENURUT  GOLONGAN  EKONOMI  (C. & F.), ¹)
1988/89 - 1990/91
(juta  US  dollar)




Repelita V
Golongan Ekonomi






  1988/89
2)

1989/90 2)
1990/91 3)
A. Barang-barang Konsumsi
 2.083,3


     2.587 5
    2.951 5
a. Pangan dan Minuman
 1.120,5


1.337.3
   1.513,8
1. Beras
    127,9


0,0
         0,0
2. Tepung Terigu
         1,0


1,4
         2,0
3. Bahan makanan lainnya
             (termasuk biji gandum)
    317,3


 386,3
         305,6
4. Gula Pasir
    101,9


180,5
         191,7
S. Lain-lain
     572,4


769,1
     1.014,5
b. Bukan Pangan dan Minuman
    962,8


   1.250,2
     1.437,7
1. Tekstil
   155,2


284,7
         366,9
2. Lain-lain
   807,6


965,5
    1.070,8
B. Bahan Baku/Penolong
  4.985,6


6.313.9
  6.843.7
1. Kapas kasar
553,4


707,3
      638,4
2. Benang tenun kapas
   8,7


37,2
        21,6
3. Benang tenun lain
191,9


224,7
     310,3
4. Bahan kimia
651,8


836,6
 1.071,9
5.  Preparat kimia dan farmasi
205,9


277,4
     342,3
6.  Pupuk
  53,5


111,2
    107,8
7. Besi beton, besi dan
baja batangan
345,7


328,2
     702,3
8. Lain-lain
2.974,7


    3.791,3
   3.649,1
C. Barang Modal
 3.227.8


    5.370,0
     7.658 4
1.  Pipa besi atau baja
59,8


108,1
      65,1
2. Mesin-mesin tenaga
287,5


269,7
    419,3
3. Mesin untuk keperluan
industri dan perdagangan
379,3


   1.360,1
 1.586,2
4. Motor listrik dan transformator
185,8


247,6
     360,5
5. Aparat penerima dan pemancar
243,9


388,4
     433,9
6. Bis, truk dan traktor
68,0


123,7
    146,3
7. Alat-alat pengangkutan udara
59,0


44,6
      32,1
8. Alat-alat pengangkutan air
28,4


     32,9
      35,6
9.  Lain-lain
1.916,1


    2.794,9
  4.579,4
Jumlah
10.296,7


 14.271,4
17.453,6
1)   Berdasarkan pembukaan L/C                2)  Angka diperbaiki                            3)  Angka perkiraan
V/22

TABEL V - 7

PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI                 
MENURUT GOLONGAN EKONOMI, 1)
1988/89 - 1990/91
(%)




Repelita
V

Golongan Ekonomi
1988/89

1989/90
2)
1990/913)
1.
Barang Konsumsi
20,2

18,1

16,9
2.
Bahan Baku/Penolong
48,4

44,3

39,2
3.
Barang Modal
31,4

37,6

43,9

Jumlah
       100,0

  100,0

  100,0
1) Berdasarkan pembukaan L/C 2) Angka diperbaiki                  3) Angka perkiraan
terjadi untuk impor: mesin-mesin tenaga dari US$ 269,7 juta  menjadi US$ 419,3 juta, atau naik sebesar 55,5%; mesin untuk keperluan industri dan perdagangan dari US$ 1.360,1 juta men- jadi US$ 1.586,2 juta, atau naik sebesar 16,6%; aparat pene­rimaan dan pemancar meningkat dari US$ 388,4 juta menjadi US$ 433,9 juta, atau naik sebesar 11,7%, dan bis, truk serta traktor dari US$ 123,7 juta menjadi US$ 146,3 juta, atau me­ningkat sebesar 18,3%. Peningkatan impor truk terutama dise­babkan oleh adanya kebijaksanaan untuk mengizinkan impor truk dalam keadaan terpasang (CBU) dan pemberian keringanan bea masuk.

V/23

GRAFIK V - 3
PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI,
1988/89 - 1990/91

Repelita V










V/24

Sementara itu selama dua tahun pertama pelaksanaan Repe­lita V, impor bahan baku/penolong mengalami peningkatan ber­turut-turut sebesar 26,6% dan 8,4%. Peningkatan ini antara lain berasal dari kenaikan impor: bahan kimia sebesar 28,1%, dari US$ 836,6 juta menjadi US$ 1.071,9 juta; besi beton,     besi dan baja batangan sebesar 114,0% dari US$ 328,2 juta menjadi US$ 702,3 juta, dan preparat kimia dan farmasi me­ningkat sebesar 23,4% dari US$ 277,4 juta menjadi US$ 342,3 juta.

Pada tahun 1990/91 impor barang-barang konsumsi telah meningkat sebesar 14,1% dari tahun 1989/90. Peningkatan ter­jadi dalam komoditi pangan, yaitu gula pasir sebesar 6,2%,     dan komoditi bukan pangan, yaitu tekstil sebesar 28,9% (lihat Tabel V-6).

Kebijaksanaan dalam bidang jasa-jasa yang dititikberat-       ­kan pada penerimaan devisa terus disempurnakan. Dalam tahun 1989/90 dan 1990/91 pengeluaran netto untuk jasa-jasa mening­kat masing-masing sebesar 9,3% dan 9,9% hingga mencapai US$ 8.055 juta dan US$ 8.856 juta. Dari seluruh pengeluaran         jasa-jasa dalam tahun 1990/91, jasa-jasa sektor di luar mi-        ­nyak dan gas bumi meningkat sebesar 10,2%, dari tahun sebelum­nya hingga mencapai US$ 5.683 juta. Hal ini terutama disebab­kan oleh meningkatnya biaya angkutan barang impor, transfer keuntungan perusahaan asing dan pembayaran bunga pinjaman     luar negeri. Dapat ditambahkan penerimaan devisa dari kegiat­-an pariwisata meningkat cukup tinggi, yaitu sebesar 34,9%, sehingga mencapai US$ 2.199 juta, yang berarti pengembangan sektor pariwisata cukup berhasil.

Sementara itu pengeluaran jasa-jasa sektor minyak bumi telah meningkat sebesar 9,1%, yaitu dari US$ 1.635 juta dalam tahun 1989/90 menjadi US$ 1.783 juta dalam tahun 1990/91. Peningkatan pengeluaran jasa-jasa untuk sektor minyak bumi        ini terutama disebabkan oleh meningkatnya biaya produksi minyak bumi. Pengeluaran jasa-jasa sektor gas bumi mengalami peningkatan sebesar 10,1% hingga menjadi US$ 1.390 juta dalam tahun 1990/91 (lihat Tabel V-1).


F.   PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH

Pinjaman luar negeri berperan sebagai sumber pembiayaan pelengkap dalam pembangunan. Sebagaimana digariskan dalam



V/25

GBHN, pengelolaan pinjaman luar negeri selalu dilaksanakan secara hati-hati, baik mengenai jumlah, persyaratan maupun penggunaannya. Dalam hal persetujuan pinjaman baru diusahakan pengurangan pinjaman bersyarat kurang lunak dan komersial, serta makin ditingkatkan peranan pinjaman bersyarat lunak. Sejak tahun keempat Repelita IV telah dimanfaatkan pinjaman khusus bersyarat lunak yang segera dapat digunakan untuk mem­percepat pelaksanaan program dan proyek pembangunan yang mem­punyai prioritas tinggi.

Dalam tahun 1989/90 persetujuan (commitment) pinjaman luar negeri Pemerintah adalah sebesar US$ 6.753,2 juta. Dalam      tahun 1990/91 persetujuan pinjaman luar negeri ini di­pertahankan pada tingkat yang kurang lebih sama, yaitu sebe-        ­sar US$ 6.693,0 juta. Sementara itu komposisinya berubah karena menurunnya bantuan khusus dan pinjaman tunai (lihat Tabel V-8). Dengan semakin membaiknya keadaan perekonomian Indonesia, maka persetujuan bantuan khusus menurun dari US$ 2.360,0 juta dalam tahun 1988/89 menjadi US$ 1.857,8 juta dalam tahun 1989/90 dan menurun lagi menjadi US$ 1.277,8 juta dalam tahun 1990/91. Di lain pihak, bantuan proyek memperli­hatkan peningkatan dari US$ 2.248,3 juta menjadi US$ 2.835,5 pada tahun 1989/90 dan meningkat menjadi US$ 3.473,6 juta pada tahun 1990/91. Sementara itu, pada tahun 1990/91 perse­tujuan pinjaman proyek lainnya, yang terdiri dari kredit ekspor dan kredit komersial meningkat dari US$ 1.198,8 juta menjadi US$ 1.541,6 juta. Sedangkan persetujuan pinjaman tunai (komersial) pada tahun 1990/91 mengalami penurunan di­bandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu dari US$ 855,1 juta menjadi US$ 400,0 juta.

Ditinjau dari komposisi pinjaman, pinjaman luar negeri Pemerintah sebagian besar tetap dalam bentuk pinjaman lunak,         yang terdiri dari bantuan khusus dan bantuan proyek. Selebih-           ­nya adalah pinjaman setengah lunak dan pinjaman tunai. Kom-            ­posisi pinjaman luar negeri mernunjukkan kecenderungan membaik, seperti tercermin pada peranan pinjaman lunak yang meningkat        dari 69,6% dalam tahun 1989/90 menjadi 71,0% dalam tahun        1990/91. Perkembangan tersebut merupakan perwujudan dari kebijaksanaan pinjaman luar negeri yang berhati-hati dengan senantiasa memperhatikan kemampuan untuk membayar kembali         (lihat Tabel V-9).

Perubahan komposisi lainnya yang perlu dicatat adalah         bahwa sejak tahun 1989/90 peranan pinjaman lunak dari negara            donor (bilateral) semakin berkurang, sebaliknya dari lem-


V/26­

TABEL   V - 8
PBRKEMBANGAN  PINJAMAN  LUAR  NEGERI  PEMERINTAH,  1)
1988/89 - 1990/91
(juta US dollar)


Repelita
V

Jenis Bantuan/Pinjaman
1988/89
1989/90 2)
1990/91 3)








Nilai
Nilai
(% Kenaikan/
Penurunan)
Nilai
(% Kenaikan/
Penurunan)

Bantuan Program Murni (Pangan)
     23,0
     6,0
(-73,9)

       (  -  )

Bantuan Khusus 4)
2.360,0
  1.857,8
(-21,3)
1.277,8
     (-31,2)

Bantuan Proyek
2.248,3
  2.835,5
(+26,1)
3.473,6
(+22,5)

Pinjaman Setengah Lunak dan
Komersial (untuk Proyek) 5)
1.119,2
 1.198,8
(+7,1)
1.541,6
(+28,6)

Pinjaman Tunai 6)
      493,5
  855,1
(+73,3)
 400,0
(-53,2)

Jumlah
6.244,0
  6.753,2
(+8,2)
6.693,0
(-0,9)

1)  Pinjaman IGGI atas dasar pledge dan pinjaman di luar IGGI atas dasar persetujuan                  2)  Angka diperbaiki
3)   Angka sementara
4)  Berupa Bantuan Program, Dana Pendamping (Local Cost) dan Pinjaman Sektor             (Sector Loan)
5)  Termasuk kredit ekspor
6)  Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank




V/27

TABEL V – 9
PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,1)
1988/89 – 1990/91
(juta US dollar)


V/28


baga-lembaga keuangan internasional (multilateral) semakin meningkat.

Pelunasan angsuran pokok pinjaman untuk tahun 1989/90 dan 1990/91 berturut-turut adalah sebesar US$. 3.686 juta dan US$ 4.082 juta, sedangkan pembayaran bunga pinjaman sebesar US$ 2.516 juta dan US$ 2.639 juta (lihat Tabel V-10). Dapat dikemukakan bahwa meningkatnya angsuran pokok tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya pinjaman yang sudah jatuh waktu.
TABEL V - 10

PELUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,
1988/89 - 1990/91
(juta US dollar)
Tahun
Pelunasan 1)
Pinjaman
     Nilai 2)
Ekspor
(% dari nilai
Ekspor)
1988/89




(Akhir Repelita IV)
6.328

19.824
(31,9)
1989/90




(Tahun Pertama
Repelita V)
6.202

23.830
(26,0)
1990/91 3)




(Tahun Kedua
Repelita V)
6.721

28.143
(23,9)
1) Pokok dan bunga pinjaman Pemerintah
2  Termasuk ekspor minyak bumi, gas alam cair (LNG)
   dan gas minyak bumi cair (LPG) atas dasar bruto 3) Angka sementara
V/29

Sementara itu, perbandingan antara jumlah pembayaran pinjaman luar negeri Pemerintah terhadap nilai ekspor barang (atau Debt Service Ratio) menurun yaitu dari 26,0% pada tahun 1989/90 menjadi 23,9% pada tahun 1990/91.

Perkembangan neraca pembayaran dalam tahun 1990/91 me­nunjukkan betapa pentingnya kelanjutan pelaksanaan kebijak­sanaan yang sudah ditempuh selama ini, yaitu pengendalian nilai tukar rupiah, penunjangan penanaman modal, pengendalian hutang-hutang luar negeri, dan pengembangan ekspor untuk mem­bawa situasi neraca pembayaran ke arah yang makin mantap.




 



































V/30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar